Rabu, 16 Maret 2016

Kasus Bupati Ogan Ilir: Dinasti Politik Runtuh Akibat Narkoba

sumber gambar: jpnn.com


Setelah melalui proses pemeriksaan dan penangkapan yang alot, akhirnya BNN menyatakan bahwa Bupati aktif Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan, Ahmad Wazir Noviadi Mawardi, positif menggunakan narkoba. Empat orang lain yang turut digelandang ke BNNP Sumsel pun dinyatakan positif. Keempat orang tersebut masing-masing berprofesi sebagai PNS Rumah Sakit Ernaldi Bahar, PNS Dinas Kesehatan Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur, buruh dan penjaga rumah.

Sungguh ironi jika pegawai di dinas kesehatan, yang jelas-jelas mengerti dampak Narkoba, justru tertangkap karena menggunakan narkoba. Mungkin ini bisa dijadikan momen yang tepat bagi dinas terkait untuk melakukan tes urin kepada seluruh pegawainya. Untungnya, Wakil Bupati Ogan Ilir yang saat itu kebetulan tengah bersama Bupati, sehingga turut dibawa ke BNPP, dinyatakan negatif, tidak menggunakan narkoba. Untung saja. Jika saja, sang wakil bupati terlibat, betapa parahnya wujud oknum pemimpin daerah tersebut. 

Dengan kejadian ini, tentu sang bupati 27 tahun tersebut akan dinonaktifkan. Tes urin telah menjadi bukti yang tak dapat dipungkiri, yang dapat menghentikan langkah sang bupati. Mana mungkin rakyat mau dipimpin oleh pengguna narkoba. Belum genap 1 bulan setelah pelantikan sebagai bupati, ia harus mendekam di tahanan BNN dan akan direhabilitasi. Kursi empuk bupati, yang dulu diduduki Ayahnya, Mawardi Yahya, harus rela ia serahkan ke wakilnya, Ilyas Panji Alam. 

Kritik Terhadap Kepemimpinan Mawardi Yahya (Ayah Ahmad Wazir Noviadi) 
Keluhan dan kritik terhadap Mawardi Yahya sebenarnya sudah sering terdengar sejak dulu, setidaknya sejak tahun 2009. Saat itu, saya tengah menjadi mahasiswa di universitas negeri yang berlokasi di Indralaya, Ogan Ilir. Keluhan dan kritik itu sering terdengar dari teman-teman mahasiswa, warga-warga (terutama yang di sekitar kosan, yang sering curhat degan mahasiswa) dan sopir angkot yang sering mangkal di jalan dan terminal kampus. 

Keluhan pun memuncak ketika Mawardi kembali mencalonkan diri menjadi bupati untuk periode terakhir. Ternyata, ia menang Pilkada, mengalahkan artis sekaligus pengusaha, Helmi Yahya. Tak sedikit yang heran, bagaimana Mawardi bisa menang? Entahlah, yang pasti Mawardi Yahya dan pasangannya meraih 96.785 suara (46,35%). Sedangkan Helmy Yahya dan pasangannya mendapatkan 86.388 suara (41,37%) (sumber). Meskipun menang tipis, tapi tetap saja menang. 

Puncak keluhan dan keresahan warga terhadap Mawardi adalah saat akhir tahun 2015, masyarakat mendesak KPK untuk mengusut kekayaan keluarga Mawardi. Harta kekayaan Keluarga Mawardi yang melimpah itu dianggap tak wajar. Selain itu, banyak komponen aset yang tidak dimasukkan dalam LKHPN yang Ia laporkan pada akhir masa jabatannya. Diduga, Aset kekayaan Keluarga Mawardi tersebar di berbagai daerah, antara lain di Sumatera Selatan, Jakarta dan Yogyakarta (sumber). 

Upaya Pengunduran Diri Mawardi Yahya 
Terbitnya Undang-Undang Nomor 8 tahun 2015 dan Peraturan KPU Nomor 9 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota, sepertinya membuat Mawardi panik. Bagaimana tidak, dalam undang-undang dan peraturan tersebut, terkandung ketentuan bahwa “calon tidak memiliki konflik kepentingan dengan Petahana”. 

"Yang dimaksud konflik kepentingan adalah tidak memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan dan/atau garis keturunan 1 (satu) tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengan petahana yaitu ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak, menantu kecuali telah melewati jeda 1 (satu) kali masa jabatan." 

Padahal, diketahui bahwa Putra Mawardi yang saat itu berstatus Anggota DPRD, hendak mencalonkan diri sebagai Bupati Ogan Ilir, menggantikan ayahnya. Niat itu tentu didukung oleh Mawardi. Akhirnya, Mawardi Yahya pun mengundurkan diri sebagai Bupati Ogan Ilir. Upaya pengunduran diri sebagai kepala daerah seperti Mawardi tersebut juga dilakukan oleh beberapa kepala daerah lain. Tujuannya sama, agar keluarganya dapat mencalonkan diri. Bahkan, Mawardi secara terang-terangan mengungkapkan alasan pengunduran diri tersebut demi langkah politik sang anak (sumber). Upaya untuk kembali menguasai Ogan Ilir dan seisinya. Di sinilah awal terbentuknya dinasti politik dan kekuasaan di Ogan Ilir. 

Upaya pengunduran diri Mawardi sebagai bupati, mendapat banyak respon negatif dari masyarakat. Terutama di media sosial. Bagaimana tidak, saat Mawardi menjadi bupati, banyak keluhan dan kritik dari masyarakat. Masyarakat ada yang khawatir jika ternyata anak Mawardi menang pilkada dan menjadi bupati. Maka sebagian masyarakat beranggapan bahwa tidak akan ada perubahan dan kemajuan di Ogan Ilir, karena masih dikemudikan oleh keluarga Mawardi. Akibatnya, banyak masyarakat yang mencibir upaya pengunduran diri tersebut. 

Banyak yang beranggapan bahwa sang bupati telah bermanuver menyiasati dan mencari celah dari Undang-Undang Nomor 8 tahun 2015 dan Peraturan KPU Nomor 9 Tahun 2015 tentang Pemilihan Calon Kepala Daerah. 

Masyarakat Ogan Ilir Meragukan Kemampuan Putra Mawardi 
Kekhawatiran sebagian masyarakat pun semakin menjadi setelah anak Mawardi, Ahmad Wazir Noviadi menang Pilkada Ogan Ilir 2015, dengan mendulang 107.578 suara. Helmi Yahya kembali menelan kekalahan. Kekalahan ketiga di Pilkada Sumatera Selatan. 

Belum genap satu bulan menjadi bupati, memang belum bisa membuktikan kekhawatiran masyarakat tersebut. Bahkan mungkin, sebagai Bupati, Ahmad Wazir Noviadi belum sempat berbuat banyak. Mungkin satu bulan ini, Ahmad Wazir Noviadi tengah mempelajari dan  berkoordinasi awal dengan jajarannya. 

Kekhawatiran tersebut banyak diungkapkan di media sosial. Meraka ragu akan ada perubahan dan kemajuan di daerahnya. Kekhawatiran tersebut berhasil dirangkum oleh media lokal, radar-palembang.com. ”Mawardi jadi bupati, Kecamatan kita dak ada kemajuan. Apalagi anaknya yang mimpin Ogan Ilir, tidak mungkin maju kecamatan Muara Kuang,” ungkap salah seorang warga (sumber). 

Akhir Kisah Dinasti Politik 
Keraguan masyarakat tentang kompetensi Bupati Ahmad Wazir Noviadi memang belum terbukti. Tetapi, kasus narkoba yang menimpa cukup membuktikan bahwa Ahmad Wazir Noviadi tak layak memimpin masyarakat Ogan Ilir yang jumlahnya lebih dari 450.933 jiwa. Masyarakat pun tentu tak mau dipimpin oleh orang yang takluk pada narkoba. 

Mungkin, tak pernah terpikirkan oleh Mawardi, bahwa sang anak emas, yang meneruskan tahta bupati, gemar mengonsumsi Narkoba. Saat BNN berupaya menggeledah dan menangkap putranya, Mawardi berusaha menghalangi. Mungkin Ia tak percaya bahwa putranya terlibat kasus narkoba.

Kejadian ini menjadi pukulan telak baginya. Pukulan yang mampu meruntuhkan dinasti politik di Ogan Ilir. Selain meruntuhkan dinasti politik, kejadian ini jelas membuat malu Mawardi. Putra yang sangat  ia banggakan ternyata takluk dengan narkoba. 

Putra yang mungkin ia andalkan untuk meneruskan “program” terdahulu yang belum terlaksana. Yang mungkin bisa melindungi keluarganya. Selain memikirkan putranya yang sekarang menjadi “asuhan” BNN, mungkin Mawardi juga memikirkan kelanjutan kepemimpinan di Ogan Ilir. Apakah ia akan begitu saja menyerahkan ke wakil bupati, Ilyas Panji Alam? Bisa iya, bisa tidak. 

Yang jelas, Ini bisa menjadi akhir kisah dinasti politik di Ogan Ilir. Putusnya jaringan kekuasaan keluarga Mawardi di kabupaten Ogan Ilir. Kabupaten yang baru mekar tahun 2003 itu sepertinya memang membutuhkan sentuhan orang baru, bukan dinasti lama, agar bisa kembali “mekar” dan berkembang.



Artikel ini sebelumnya talah saya posting di Kompasiana.com
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/yosepefendi/kasus-bupati-ogan-ilir-dinasti-politik-runtuh-akibat-narkoba_56e6ac4ea2afbd300b8b456d

Tidak ada komentar:

Posting Komentar