Rabu, 14 Oktober 2015

Eksistensi Ruang Publik Berbasis Budaya dan Edukasi di Tengah Modernitas Pembangunan Yogyakarta

Eksistensi Ruang Publik Berbasis Budaya dan Edukasi di Tengah Modernitas Pembangunan Yogyakarta
Yogyakarta, kota yang istimewa. Bukan hanya karena gelar keitimewaan yang disandang, tetapi juga karena memang banyak hal yang istimewa, mulai dari budaya, potensi wisata hingga struktur pemerintahannya. Selain itu, Yogyakarta juga dikenal sebagai Kota Pendidikan. Predikat tersebut berdampak pada banyaknya pendatang ke jogja. Pendatang tersebut didominasi oleh mahasiswa. Berdasarkan data dari Pangkalan Data Direktorat Pendidikan Tinggi, diketahui bahwa jumlah Perguruan Tinggi di Yogyakarta adalah 137. Hal itu tentu berdampak pada meningkatnya kebutuhan akan tempat tinggal untuk para pendatang yang kuliah di 137 Perguruan Tinggi. Belum lagi ditambah dengan kebutuhan tempat tinggal bagi penduduk Yogyakarta.
Berdasarkan data dari BPS, kepadatan penduduk terus meningkat dan diproyeksikan jumlah penduduk akan terus meningkat setiap tahunnya. Sehingga dapat dibayangkan bagaimana peningkatan kebutuhan tempat tinggal bagi penduduk sekitar dan pendatang. Di sisi lain, Yogyakarta juga dianggap sebagai Kota Budaya, yang memiliki banyak wilayah dan bangunan bernilai budaya yang harus dijaga dan dilestarikan. Oleh sebab itu, diperlukan pola penataan wilayah, agar kebutuhan ruang untuk tempat tinggal/ pemukiman, ruang publik, cagar budaya, ruang terbuka hijau dapat terpenuhi dengan baik dan saling sinergis.
Modernitas Pembangunan di Yogyakarta
Predikat sebagai kota Pelajar/Pendidikan dan Pariwisata seolah berusaha menggeser eksistensi ruang budaya, ruang yang dijunjung tinggi dalam Keistimewaan Yogyakarta. Tempat singgah dan tempat tinggal komersil modern tumbuh dengan pesat, mengikuti tingginya kebutuhan. Jumlah Hotel dan apartemen terus meningkat mengokohkan eksistensinya. Para kapitalis berdiri kokoh dan kemudian berjalan menelusuri kawasan Yogyakarta, kawasan yang memiliki potensi ekonomi tinggi. Potensi keuntungan ekonomi menjadi tujuan uatam, yang bahkan mengesampingkan kebutuhan akan ruang publik atau ruang budaya.
Tidak salah memang mementingkan keuntungan ekonomi. Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah masyarakat sekitar bisa menikmati juga keuntungan ekonomi itu? Atau justru dirugikan. Contoh kasus, tahun lalu ada satu hotel di Yogyakarta yang diprotes warga sekitar. Protes tersebut terjadi karena sejak pembangunan hotel, banyak sumur warga sekitar yang mengering. Padalah, biasanya sumur tersebut tetap mengeluarkan air layak konsumsi, bahkan saat musim kemarau panjang. Sehingga, kuat dugaan bahwa penyebab keringnya sumur warga adalah karena hotel tersebut. Artinya, ada permasalahan dengan pembangunan hotel tersebut. Akhirnya, masyarakat dirugikan.
 Selain merampas hak masyarakat atas sumber daya alam (sebagaimana contoh kasus sumur mengering), pembangunan gedung komersil secara besar-besaran berpotensi mengurangi munculnya ruang publik baru, bahkan menggusur keberadaan ruang publik yang telah ada. Setiap wilayah memang membutuhkan investasi, guna pembangunan dan pengembangan wilayah, tak terkecuali dengan Yogyakarta. Namun, setiap pembangunan hendaknya mempertimbangan aspek dampak lingkungan, baik lingkungan alam, sosial dan budaya. Dengan logo dan tagline baru, “jogja istimewa”, salah satu landasan filosofisnya adalah pembangunan yang lestari dan selaras dengan alam untuk lingkungan hidup yang lebih baik. Filosofi tersebut memberikan harapan besar masyarakat akan kelestarian lingkungan Yogyakarta.
 Setiap wilayah, termasuk Yogyakarta, memang selayaknya memilikigrand design atau blue print penataan wilayah. Salah satu yang harus ada di dalamnya adalah ruang publik. Yang menjadi permasalahan di era modernitas saat ini adalah eksistensi dan kelayakan ruang publik untuk masyarakat. Modernitas pembangunan dan perluasan guna pemukiman, gedung perkantoran, hotel dan bangunan komersil lain sering menjadi penyebab tergusurnya ruang public dan potensi ruang publik baru. Padahal, keberadaan ruang publik sangat dibutuhkan dan memang bermanfaat untuk masyarakat. Selain keberadaan, kualitas dan kelayakan ruang publik pun harus diupayakan. Yogyakarta merupakan salah satu kota yang senantiasa berusaha mengupayakan keberadaan dan kelayakan ruang publik.
Ruang Publik Bernilai Budaya
Yogyakarta menyediakan cukup banyak ruang publik, baik untuk kepentingan rekreasi, edukasi, perbelanjaan, atau untuk saling berinteraksi. Di wilayah Kota Yogyakarta, ada beberapa ruang publik yang sangat populer, menjaga nilai budaya, selalu ramai pengunjung dan dapat dinikmati masyarakat bebas adalah kawasan Titik Nol Kilometer, Alun-alun Utara dan Selatan. Kawasan Titik Nol selalu ramai pengunjung, terutama saat malam hari. Biasanya, kawasan tersebut menjadi tempat beristirahat dan bersantai bagi para pengunjung setelah berwisata belanja di Malioboro. Namun, tak sedikit pengunjung yang memang sengaja langsung datang ke kawasan tersebut untuk menikmati suasana. Kawasan tersebut terdapat beberapa warisan budaya dan menumen, seperti Benteng Vredeburg, Monumen Serangan Umum 1 Maret 1949, Gedung Agung dan alun-alun utara yang memiliki daya tarik, bernilai sejarah dan budaya.
Kawasan Sekitar Nol Kilometer Yogyakarta (Dok. Pribadi)
Selain kawasan Nol Kilometer, ruang publik lain yang ramai dimanfaatkan masyarakat adalah alun-alun Yogyakarta, yaitu alun-alun Utara dan Selatan. Alun-alun merupakan salah satu identitas atau ikon yang selalu ada di tiap daerah di pulau jawa. Keberadaannya pun selalu dimanfaatkan oleh masyarakat, seperti sebagai tempat berkumpul atau berinteraksi. Begitu juga dengan alun-alun Yogyakarta, selalu ramai dikunjungi masyarakat, sebagai tempat berinteraksi atau diskusi. Alun-alun Utara sering dimanfaatkan untuk acara-acara besar, seperti pameran atau konser musik. Namun, seringkali disalahgunakan sebagai tempat parkir dan pedagang kaki lima. Penyalahgunaan fungsi tersebut tentunya sama dengan merampas hak masyarakat akan ruang publik. Namun, sejak bulan Juli 2015 lalu, Pemprov DIY telah berupaya menertibkan parkir liar dan PKL di kawasan tersebut. Sehingga, hak masyarakat atas ruang publik terjaga.

Alun-Alun Utara Yogyakarta (Dok. Pribadi)
Pada sebrang selatan, terdapat alun-alun selatan. Alun-alun selatan sebagai ruang publik bukan hanya menawarkan tempat tetapi juga memberikan pengalaman wisata folklore, yaitu alun alun selatan sebagai halaman depan kedua (setelah alun-alun utara) dan mitos Masangin (singkatan dari Masuk Dua Beringin). Mengenai halaman depan, kabarnya alun-alun selatan dibuat agar keraton memiliki halaman depan di sisi selatan (belakang keraton), sehingga tidak terkesan membelakangi laut selatan. Sedangkan Masangin adalah upaya melewati tengah-tengah beringin kembar yang berada di tengah alun-alun, dengan mata tertutup. Posisi start di depan Sasono Hinggil, yang berjarak sekitar 25 meter dari titik tengah dua beringin. Jika mampu berjalan lurus dan melewati tengah beringin kembar tersebut, dipercaya memiliki hati yang tulus dan lurus. Itulah salah satu wisata budaya di Yogyakarta, yang terkadang menyimpan mitos dan  misteri.

Beringin Kembar Alun-Alun Selatan Yogyakarta (Dok. Pribadi)
 Ruang Publik Bernilai Edukasi
Selain ruang publik alun-alun yang menyimpan misteri, Yogyakarta juga menyediakan ruang publik yang memberikan edukasi pada masayarakat. Cukup banyak ruang publik edukasi di Yogyakarta, namun yang paling ramai pengunjung adalah Taman Pintar dan Perpustakaan. Sebagai Kota Pelajar dan Pendidikan, Yogyakarta tentunya konsen terhadap dunia pendidikan, dengan menyediakan wahana dan fasilitas yang bernilai edukasi. Tujuannya agar dapat memotivasi, menginspirasi dan mencerdaskan masyarakat. Taman Pintar Yogyakarta (TPY) yang berlokasi di Jalan Panembahan Senopati No. 1 – 3 Yogyakarta dan hanya berjarak kurang lebih 200 meter dari titik Nol Kilometer, selalu ramai pengunjung. Mulai dari pengunjung individu, hingga pengunjung rombongan, biasanya rombongan dari sekolah. Baik rombongan sekolah yang berasal dari Yogyakarta, maupun dari luar Yogyakarta.
Taman Pintar Yogyakarta (TPY) (Dok. Pribadi)
Ruang publik TPY menawarkan berbagai wahana yang sarat dengan nilai pendidikan. Sehingga, tak berlebihan jika TPY disebut sebagai ruang publik yang mencerdaskan. Sebagaimana salah satu syarat kelayakan suatu ruang publik adalah memberikan informasi, pengetahuan atau wawasan pada pengunjungnya. Dengan fasilitas berbagai wahana dalam lima gedung utama, TPY mampu memberikan kepuasan tinggi pada pengunjungnya. Terbukti dengan Indeks Kepuasan Masyarakat terus meningkat setiap tahun, dengan nilai indeks 79,54 pada Juni 2015 (sumber: http://www.tamanpintar.com/).
Selain TPY, ruang publik edukatif lain yang ramai pengunjung adalah Perpustakaan Kota Yogyakarta. Untuk mencapai visi “Menjadikan perpustakaan sebagai wahana Pendidikan, Penelitian, Pelestarian, Informasi, dan Rekreasi”, perpustakaan menyediakan berbagai fasilitas edukatif dan hiburan yang dibutuhkan masyarakat. Bukan hanya koleksi ribuan buku, Perpustakaan Yogyakarta juga memfasilitasi pengunjungnya dengan internet/Wi-Fi gratis. Selain itu, juga tersedia prasarana pendukung yaitu ruang baca anak, ruang audio visual dan ruang pertemuan. Ada satu lagi fasilitas yang sangat menarik di Perpustakaan Kota Yogyakarta ini, yaitu Taman Masyarakat Sambung Rasa (TAMARA).
Di TAMARA disediakan gazebo dan shelter yang dilengkapi dengan akses internet cepat, giant screen yang dapat digunakan untuk memutar film yang mendidik, literasi masyarakat berbasis pendidikan, informasi tentang kebijakan pemerintah dan berbagai informasi perpustakaan. Di Taman yang dibuka pukul 08.00 sampai dengan pukul 24.00 WIB ini, pengunjung dapat berinteraksi dan menyambung rasa antar sesama, baik secara tatap muka maupun dengan media internet.
Di tengah pembangunan gedung-gedung komersil simbol modernitas yang terus tumbuh, ternyata ruang publik yang menjaga warisan budaya dan mencerdaskan masih menunjukkan keberadaanya dan diminati masyarakat. Bukan hanya masyarakat Yogyakarta, tetapi juga masyarakat dari daerah lain. Jogja memang istimewa.